Bongkar Muat Batu Bara Ship to Ship Jadi Sumber Pencemaran di Laut, DLH Kaltim Ungkap ada Kelemahan Hukum

metroikn, SAMARINDA – Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) menyoroti aktivitas pemindahan batu bara antar kapal atau Ship to Ship (STS) sebagai salah satu sumber pencemaran lingkungan yang memerlukan pengawasan lebih ketat.

Kepala Bidang Penaatan dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan Hidup DLH Kaltim, Rudiansyah, menyebutkan bahwa dari seluruh tahapan aktivitas pertambangan batu bara, proses STS di perairan dan pembersihan tongkang memiliki kontribusi signifikan terhadap pencemaran, terutama di wilayah laut.

“Dari keseluruhan tahapan kegiatan batu bara, aktivitas di perairan, khususnya saat STS dan pembersihan tongkang, memiliki kontribusi terhadap pencemaran,” ujar Rudiansyah, Kamis (7/8/25).

Ia menjelaskan bahwa salah satu persoalan utama adalah polusi berupa debu batu bara. Menurutnya, posisi alat angkut seperti grab crane yang terlalu tinggi, serta adanya celah antara tongkang dan kapal induk (mother vessel), menjadi titik rawan penyebaran debu dan tumpahan material ke laut.

Untuk meminimalkan dampak tersebut, DLH Kaltim mendorong penggunaan teknologi penyemprot (sprayer) di area pemuatan, baik di pelabuhan maupun saat kegiatan STS berlangsung. Teknologi ini dinilai dapat membantu mengikat partikel debu agar tidak tersebar ke lingkungan sekitar.

“Selain itu, perlu dipastikan alat angkut tertutup rapat dan celah antara tongkang dengan kapal induk ditutup dengan pelindung untuk mencegah material jatuh ke laut,” tambahnya.

Rudiansyah juga menegaskan bahwa DLH Kaltim secara konsisten menolak usulan sejumlah pihak terkait metode pembersihan sisa batu bara di tongkang. Ia menyebut praktik memindahkan sisa material dari tongkang ke kapal kecil tidak sesuai dengan ketentuan pengelolaan limbah.

DLH Kaltim tidak pernah mengeluarkan izin terhadap praktik tersebut sejak 2013. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa sisa batu bara dari proses usaha tidak dikategorikan sebagai limbah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Kami memandang sisa batu bara itu bukan limbah dalam pengertian undang-undang, sehingga penanganannya harus dilakukan secara khusus oleh perusahaan, bukan dipindahkan atau dibuang sembarangan,” tegasnya.

Lebih lanjut, DLH Kaltim menyoroti bahwa kerangka hukum yang mengatur aktivitas batu bara dinilai belum secara spesifik mengatur aktivitas pengangkutan di laut, termasuk proses STS. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 4 Tahun 2012 disebut masih berfokus pada kegiatan di area tambang dan pasca-reklamasi.

“Permen tersebut belum mengatur secara teknis proses pengangkutan dan transfer batu bara antar kapal di luar wilayah tambang, padahal potensi pencemarannya cukup besar,” jelas Rudiansyah.

DLH Kaltim mendorong agar pengawasan terhadap aktivitas angkutan batu bara di wilayah perairan diperketat dan didukung oleh kebijakan yang lebih spesifik. Pihaknya menilai perlunya revisi atau penyesuaian regulasi agar proses pengangkutan tidak menjadi celah pencemaran yang sulit dikendalikan.