metroikn, SAMARINDA — Kebijakan penertiban lapak dagangan di kawasan eks Bandara Temindung, Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim), yang dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Provinsi Kaltim pada Kamis (7/8/2025), menuai keluhan dari sejumlah pedagang kecil.
Penertiban dilakukan dengan alasan penggunaan lahan secara tidak sah dan adanya bangunan semi permanen yang melanggar fungsi kawasan.
Kepala Bidang Trantibum Satpol PP Kaltim, Edwin Noviansyah, menjelaskan bahwa pembongkaran menyasar tenda dan lapak yang bersifat menetap.
Ia menyebutkan bahwa penertiban ini merupakan lanjutan dari upaya pengawasan yang sudah dilakukan sejak beberapa bulan terakhir.
“Kami tidak melarang warga untuk berdagang, tapi jangan membangun tenda permanen di area publik. Gunakan gerobak atau kendaraan yang bisa dibawa pulang setelah selesai,” ujarnya.
Menurut Edwin, imbauan telah disampaikan berulang kali kepada para pedagang, namun tidak diindahkan. Ia menyebutkan bahwa keberadaan lapak yang bersifat menetap berpotensi menimbulkan permasalahan baru seperti pemukiman liar dan gangguan sosial.
“Kalau dibiarkan, nanti jadi kawasan yang disalahfungsikan. Ini ruang terbuka publik, bukan lokasi usaha tetap,” tegasnya.
Pemerintah juga berencana menutup kembali akses ke kawasan tersebut menggunakan portal untuk mencegah aktivitas yang tidak sesuai dengan peruntukan lahan.
Ke depan, Satpol PP mengusulkan agar kawasan eks bandara dirancang ulang dengan fungsi yang lebih tertata dan terarah.
Meski demikian, kebijakan ini diprotes sejumlah pedagang kecil yang merasa tidak melakukan pelanggaran berat. Mereka mengaku hanya menggunakan tenda ringan dan berdagang pada waktu-waktu tertentu, tanpa meninggalkan sampah maupun gangguan terhadap lingkungan sekitar.
“Saya jualan cuma dari jam 2 sampai jam 6 sore, setelah itu semua saya angkut. Ini buat bantu suami dan biayai anak sekolah,” kata Yani (43), salah satu pedagang.
Keluhan serupa disampaikan Aminah (39), yang kehilangan seluruh peralatan dagangnya saat tidak berada di lokasi.
Ia mengatakan bahwa tenda dan peralatan miliknya dibongkar dan diangkut petugas saat ia sedang mengantar anak sekolah.
“Saya baru sampai jam 9 pagi, semua sudah tidak ada. Padahal cuma pakai tenda ringan dan meja. Tidak ada bangunan permanen,” ungkapnya.
Aminah memperkirakan kerugian yang ditanggungnya mencapai lebih dari tiga juta rupiah, termasuk kehilangan galon air, meja, dan perlengkapan masak.
Ia menyayangkan tidak adanya pemberitahuan atau tenggat waktu yang jelas sebelum pembongkaran dilakukan.
“Kami bukan tidak mau tertib, tapi tolong diberi kesempatan. Kalau memang salah, kasih tahu. Biar kami bongkar sendiri,” ujarnya.
Para pedagang berharap pemerintah dapat memberikan solusi yang lebih manusiawi, terutama bagi pelaku usaha kecil yang bergantung pada penghasilan harian. Mereka juga meminta agar ada penataan yang melibatkan masyarakat, bukan sekadar penertiban sepihak.