Viral Dugaan Intimidasi Jurnalis oleh Ajudan Gubernur Rudy Mas’ud: Pemprov Klarifikasi, AJI Layangkan Protes

metroikn, SAMARINDA – Dua peristiwa yang melibatkan ajudan Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim), Rudy Mas’ud, menjadi perhatian publik setelah terekam dalam video dan tersebar di media sosial. Tindakan yang dinilai sebagai bentuk penghalangan terhadap jurnalis menuai kritik, baik dari publik maupun organisasi profesi pers.

Kejadian pertama terjadi pada Sabtu malam (19/7/2025) saat sesi wawancara usai Musyawarah Daerah (Musda) Partai Golkar. Dalam video yang beredar, seorang ajudan pria tampak berupaya menghentikan pertanyaan jurnalis dengan gestur tubuh yang dianggap intimidatif. Salah satu jurnalis bahkan mengaku mengalami tekanan fisik di bagian pergelangan tangan dan bahu saat merekam wawancara.

Peristiwa serupa kembali terjadi pada Senin (21/7/2025), setelah gubernur menghadiri kegiatan penandatanganan kerja sama dengan dua yayasan konservasi.

Dalam sesi doorstop, seorang ajudan perempuan terdengar menyela pertanyaan jurnalis dengan nada tinggi dan mengucapkan kata “tandai”, yang memicu reaksi dari jurnalis. Setelah acara selesai, ajudan tersebut juga sempat meminta identitas wartawan yang bertanya.

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) melalui Kepala Biro Administrasi Pimpinan (Adpim) Setda Kaltim, Syarifah Alawiyah, menjelaskan bahwa tidak ada maksud intimidasi dalam kejadian tersebut.

Ia menyebut tindakan itu terjadi karena situasi di lapangan yang tidak kondusif.

“Pada saat itu, Pak Gubernur baru selesai menjalani agenda padat sejak pagi. Bahkan belum sempat makan dan salat karena harus ikut Zoom meeting dan langsung lanjut ke acara di kantor. Jadi kondisi beliau memang sudah sangat lelah,” ujar Syarifah saat dikonfirmasi, Selasa (22/7/2025).

Ia menjelaskan, ajudan yang mendampingi saat kejadian merupakan orang baru dan belum sepenuhnya terbiasa dengan ritme kerja di lingkungan Gubernur.

Menurutnya, tindakan tegas tersebut adalah bentuk kepanikan dalam situasi cepat, bukan niatan menekan media.

“Mungkin karena belum terbiasa, penyampaiannya jadi terkesan keras. Tapi itu tidak ada maksud untuk mengintimidasi,” katanya.

Syarifah juga menyatakan bahwa doorstop oleh jurnalis merupakan hal yang biasa dilakukan setelah kegiatan resmi, dan tidak dilarang.

Namun, ia berharap agar sesi wawancara tetap memperhatikan kesiapan pimpinan, terutama saat sedang terburu-buru atau dalam kondisi tidak prima.

“Kami tetap beri ruang untuk media, tapi perlu juga melihat kondisi pimpinan. Kalau sudah lelah, mohon dipahami,” tuturnya.

Di sisi lain, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda menyampaikan pernyataan tegas atas dua kejadian tersebut.

Dalam siaran persnya, AJI menyebut tindakan para ajudan sebagai bentuk penghalangan terhadap kerja jurnalistik.

Ketua AJI Samarinda, Yuda Almerio, menilai peristiwa itu mencerminkan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin kebebasan dan perlindungan bagi jurnalis.

“Meski tidak berujung pada kekerasan yang serius, tindakan itu merupakan tekanan yang tidak seharusnya terjadi. Ini berpotensi mengganggu kebebasan pers,” kata Yuda.

AJI juga meminta Gubernur Kaltim mengambil tanggung jawab moral atas sikap staf yang bertugas mendampingi. Mereka menuntut adanya permintaan maaf dan evaluasi terhadap prosedur pendampingan pejabat publik dalam interaksi dengan media.

Selain itu, AJI mengajak seluruh pejabat dan tim pengamanannya untuk memahami bahwa jurnalis bukan ancaman, melainkan mitra dalam menyampaikan informasi ke publik.

Meski demikian, baik dari sisi pemerintah maupun organisasi jurnalis, keduanya sepakat bahwa insiden ini menjadi pelajaran penting untuk memperbaiki komunikasi dan pemahaman antara pendamping pejabat dan awak media di lapangan. Evaluasi dan dialog dinilai menjadi langkah penting agar kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari.