metroikn, SAMARINDA – Lebih dari sekadar mata pencaharian, kerajinan manik-manik khas Kalimantan menjadi ruang ekspresi dan pewarisan budaya yang terus hidup melalui tangan-tangan ibu rumah tangga di Samarinda. Di tengah arus modernisasi, aktivitas merangkai manik menjadi upaya mempertahankan identitas lokal, sekaligus wadah kreativitas yang mendalam dan penuh makna.
Purnamawati, seorang pengrajin asal Samarinda Seberang, adalah salah satu figur penting di balik geliat kerajinan ini. Bermula dari kegiatan iseng bermodal Rp35 ribu untuk membuat gantungan kunci, ia kini memimpin kelompok pengrajin yang melibatkan puluhan ibu rumah tangga. Melalui pola kerja kolektif, kerajinan ini berkembang menjadi gerakan budaya yang hidup di tengah masyarakat.
“Awalnya buat sendiri, tapi karena masih banyak manik sisa, saya ajak beberapa tetangga. Lama-lama makin banyak yang bergabung,” tuturnya, Sabtu (12/7/25).
Kerajinan ini bukan hanya soal menghasilkan produk. Melalui motif Dayak dan kombinasi warna-warna cerah yang khas, setiap hasil karya membawa narasi tentang asal-usul, nilai-nilai, dan cita rasa budaya lokal.
Bagi Purnamawati dan para pengrajin lainnya, menjaga keaslian pola dan kualitas jahitan adalah bentuk tanggung jawab terhadap warisan nenek moyang.
“Motif Dayak itu dari dulu sudah khas. Saya usahakan tetap rapi dan kuat supaya bisa bertahan lama,” ujarnya.
Dari rumah ke rumah, para ibu mengerjakan gantungan kunci, kalung, hingga tas kecil yang tak hanya digemari di Kalimantan Timur, tetapi juga diminati hingga luar daerah bahkan mancanegara.
Namun di balik eksistensinya, tantangan tetap ada. Ketersediaan bahan baku yang terbatas dan minimnya ketertarikan dari generasi muda menjadi pekerjaan rumah tersendiri.
“Yang minat dari kalangan muda masih sedikit. Padahal ini bisa jadi warisan yang berharga,” ucapnya.
Walau bahan baku didatangkan dari luar daerah seperti Surabaya, semangat lokalitas tetap kental dalam tiap karyanya. Produk-produk tersebut tersebar di pusat oleh-oleh seperti Citra Niaga, juga rutin ditampilkan dalam pameran-pameran kerajinan daerah.
Dalam banyak kesempatan, ia bahkan diminta menjadi pelatih, namun keterlibatan generasi muda masih belum signifikan.
“Pernah saya ajak anak-anak muda belajar waktu di Berau, tapi cuma satu yang serius,” katanya.
Manik-manik bukan sekadar pernak-pernik. Dalam setiap rangkaiannya, tersimpan ketekunan, semangat kolektif, serta komitmen menjaga jati diri budaya Kalimantan Timur. Melalui proses manual yang telaten, hasil akhirnya bukan hanya produk ekonomi, tetapi juga simbol kebanggaan dan ekspresi budaya yang terus mengakar di masyarakat.
“Kalau ada acara atau pameran, seringkali barang langsung habis. Tapi saya senang, itu artinya orang-orang masih cinta dengan kerajinan lokal kita,” terangnya.
Dengan tetap membuka ruang belajar bagi siapa pun yang tertarik, Purnamawati berharap kelak akan ada lebih banyak generasi yang tidak hanya melihat manik sebagai kerajinan, tetapi juga sebagai bagian dari identitas yang patut dijaga dan diwariskan.