metroikn, TENGGARONG — Suasana hangat malam Sabtu, 12 April 2025, terasa berbeda di halaman terbuka Kelurahan Maluhu, Tenggarong. Tempat yang biasanya lengang disulap menjadi panggung budaya yang hidup, dipenuhi ratusan warga yang berkumpul untuk menyaksikan pagelaran seni jaranan dan tari kuda kepang. Acara ini dirangkai dalam momentum silaturahmi sekaligus kampanye calon Bupati Kutai Kartanegara nomor urut 01, dr Aulia Rahman Basri, menjelang Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Kukar 2024 pada 19 April mendatang.
Yang membuat malam itu istimewa bukan hanya denting gamelan dan semangat para penari. Kehadiran langsung dr Aulia menjadi pusat perhatian warga. Ia tak tampil dari atas podium seperti biasa, melainkan hadir dari tengah lingkaran tarian, menyatu dengan suasana.
Dengan senyum ramah, Aulia menerima selendang merah—simbol penghormatan dari para seniman—dan bergabung dalam tarian bersama mereka. Gelak tawa, tepuk tangan, dan sorakan warga mengiringi momen tersebut, menciptakan keintiman yang lebih kuat daripada sekadar orasi kampanye.
“Ini bukan sekadar silaturahmi,” ujar dr Aulia saat beristirahat di sela pertunjukan. “Ini adalah cara kami menjaga dan merawat kebudayaan yang menjadi jati diri kita.” Ia menegaskan pentingnya keberlangsungan panggung seni dan budaya di setiap kampung dan kelurahan, bukan hanya sebagai ruang ekspresi, tetapi juga sebagai pemersatu masyarakat.
Tak sekadar menyaksikan, Aulia juga duduk bersama warga di bawah tenda sederhana, menyimak setiap pertunjukan yang dibawakan oleh anak-anak muda setempat. Ia hadir ditemani para tokoh masyarakat, relawan, dan warga dari berbagai usia yang memenuhi seluruh penjuru lapangan.
Pagelaran budaya ini mencerminkan pendekatan kampanye Aulia yang menyentuh sisi emosional dan kultural masyarakat. Lewat sentuhan seni lokal, ia ingin menunjukkan bahwa kepemimpinan yang ditawarkannya bukan hanya soal program, tapi juga tentang kedekatan, pemahaman, dan keterlibatan nyata dalam kehidupan rakyat.
Di bawah spanduk bertuliskan *Kesenian Campuran Blitar “Panji Blambangan”*, denting musik tradisional terus mengalun mengiringi tarian demi tarian hingga malam semakin larut. Warga pun terus berdatangan, memenuhi lapangan dalam suasana yang guyub dan penuh kehangatan.
Bagi warga Maluhu, malam itu bukan sekadar hiburan. Ia menjadi refleksi harapan akan pemimpin yang hadir, membaur, dan memahami akar tradisi.
“Kalau pemimpin sudah bisa ikut menari bersama rakyatnya, itu tandanya ia tak segan melangkah di jalan yang sama dengan yang kita tempuh setiap hari,” ujar seorang warga sambil tersenyum memandangi panggung.
Dan malam itu, di Maluhu, tarian bukan hanya seni—ia menjadi bahasa yang menyatukan.