metroikn, SAMARINDA – Sebelum jembatan-jembatan megah berdiri kokoh di atas Sungai Mahakam, warga Samarinda punya cara sederhana untuk menyeberang: naik Perahu Tambangan.
Moda transportasi tradisional ini bukan hanya sarana penyebrangan, melainkan bagian dari denyut kehidupan masyarakat di Kota Tepian.
Kabid Kebudayaan Disdikbud Samarinda, Barlin Hady Kesuma, menceritakan bahwa keberadaan tambangan sudah ada sejak Samarinda masih dijuluki “Kota Kayu”. Saat itu, sungai dipenuhi tumpukan log kayu, sebagian dimanfaatkan untuk membuat perahu.
“Perahu Tambangan terbuat dari kayu ulin yang terkenal kuat dan tahan lama. Inilah yang membedakan tambangan di Samarinda dengan daerah lain,” terang Barlin.
Pada masa kejayaannya, perahu tambangan melayani rute penting, salah satunya dari Samarinda Seberang dekat Masjid Shirathal Mustaqiem menuju Masjid Darussalam di pusat kota. Perjalanan hanya berlangsung beberapa menit, namun meninggalkan kenangan mendalam bagi banyak warga.
“Sebelum ada jembatan, semua orang menyeberang dengan tambangan. Itu pengalaman yang tak terlupakan,” ujarnya.
Kini, jumlah perahu tambangan hanya tersisa 39 unit. Tidak ada tambahan baru, sebab keberadaannya kian tergeser oleh jembatan dan transportasi modern.
Meski demikian, tambangan tetap diakui sebagai warisan budaya takbenda yang sarat makna.
“Tambangan bukan sekadar benda. Ia menyimpan pengetahuan, tradisi, dan identitas Samarinda,” tegas Barlin.
Bagi generasi lama, tambangan adalah penghubung kehidupan. Sedangkan bagi generasi muda, ia menjadi pengingat bahwa Samarinda tumbuh dari tepian sungai. “Seperti Sarung Samarinda dan kuliner tradisional, tambangan juga terus kami usulkan sebagai warisan budaya yang harus dijaga,” jelasnya.
Di tengah modernisasi, suara dayung yang membelah Mahakam dan pijakan kokoh kayu ulin di atas dek perahu mungkin makin jarang terdengar.
Namun bagi warga Samarinda, tambangan tetap menjadi simbol kebersahajaan dan saksi bisu perjalanan kota yang kini dijaga sebagai aset budaya berharga.