Museum Samarinda Sepi Pengunjung, Koleksi Budaya Lokal Belum Jadi Magnet Wisata

metroikn, SAMARINDA – Museum Samarinda yang berdiri di Jalan Bhayangkara dengan arsitektur menyerupai Rumah Panjang Dayak masih menghadapi persoalan minimnya pengunjung. Meski beberapa kali tercatat sebagai destinasi wisata sejarah terbaik, museum ini lebih banyak didatangi pelajar sekolah dibanding masyarakat umum.

Data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Samarinda menunjukkan fluktuasi jumlah kunjungan dalam lima tahun terakhir. Tahun 2020 tercatat sebanyak 363 pengunjung, meningkat menjadi 1.241 pada 2021, lalu melonjak drastis hingga 13.843 pada 2022 dan 14.194 pada 2023. Namun, jumlah itu kembali menurun menjadi 6.465 pada 2024 dan 5.312 pada 2025.

Kepala Bidang Kebudayaan Disdikbud Samarinda, Barlin Hady Kesuma, menjelaskan mayoritas pengunjung masih berasal dari rombongan sekolah.

“Museum belum menjadi pilihan masyarakat untuk beraktivitas. Kebanyakan orang tua lebih memilih pusat perbelanjaan atau fasilitas rekreasi lain dibanding membawa keluarga ke museum,” ujarnya.

Museum Samarinda menyimpan 315 koleksi, di antaranya replika prasasti Yupa dari Muara Kaman, alat tenun Sarung Samarinda, busana khas motif Belang Hatta, hingga senjata tradisional Dayak. Koleksi foto dokumentasi sejarah juga turut melengkapi ruang pameran yang kini sudah dilengkapi teknologi layar sentuh agar lebih ramah bagi generasi digital.

Sejarawan publik, Muhammad Sarip, menilai rendahnya kunjungan masyarakat dipengaruhi pola kunjungan yang bersifat instruksi dari sekolah. Menurutnya, tanpa mobilisasi dari Disdikbud, museum akan sepi.

“Saya pernah datang jam dua siang di hari kerja, tidak ada satu pun pengunjung. Buku tamunya kosong,” katanya.

Ia juga mengungkapkan bahwa keberadaan museum tidak lepas dari kontroversi sejarahnya. Bangunan yang kini berdiri dulunya adalah lokasi SMA 1 dan SMP 1 Samarinda, setelah sekolah bersejarah itu dibongkar pada 2014, pemerintah kota kemudian merencanakan pembangunan museum sebagai bentuk pengganti. Awalnya hanya untuk menampung memorabilia sekolah, namun konsepnya kemudian diperluas menjadi museum kota.

Meski demikian, perluasan konsep tidak diikuti dengan kesiapan koleksi, banyak benda yang dipajang tidak berkaitan langsung dengan sejarah Samarinda, bahkan sebagian merupakan pinjaman dari lembaga lain.

Barlin menambahkan bahwa dibutuhkan dukungan regulasi agar museum bisa berkembang. Ia mencontohkan pentingnya adanya Peraturan Wali Kota yang mendorong masyarakat menghibahkan benda bersejarah.

“Kami memiliki kurator dan tenaga edukator untuk merawat koleksi. Namun tanpa regulasi, masyarakat masih ragu menitipkan benda berharga mereka,” jelasnya.

Ia juga menyoroti bahwa perhatian pemerintah terhadap sektor budaya masih kalah dibanding pembangunan infrastruktur.

Menurutnya, identitas sebuah kota tidak hanya ditentukan oleh bangunan fisik, tetapi juga bagaimana warganya menjaga memori kolektif.

Dengan koleksi yang terbatas dan jumlah pengunjung yang stagnan, masa depan Museum Samarinda sangat bergantung pada keberpihakan pemerintah dan kesadaran masyarakat.

“Tanpa dukungan keduanya, museum berpotensi hanya menjadi bangunan sunyi di tengah keramaian Kota Tepian,” tandasnya.