metroikn, SAMARINDA – Lebih dari 20 tahun, Nur Laila (55), perantau asal Sulawesi, menggantungkan hidup dari anyaman ketupat di Kampung Ketupat, Samarinda Seberang. Dari kerajinan itu, ia berhasil membiayai enam anak dan membangun rumah.
“Setiap bulan saya bisa memproduksi sekitar 16 ribu ketupat. Sebagian besar pelanggan berasal dari Petung, Penajam,” ungkap Laila, Jumat (05/9/2025).
Harga jual ketupat saat ini berkisar Rp20.000 per 100 buah. Permintaan tertinggi datang saat Ramadan, namun di luar bulan itu Laila tetap memproduksi puluhan ribu ketupat untuk memenuhi pesanan rutin, mulai dari ketupat untuk soto Banjar hingga soto Makassar yang berbeda ukuran dan bentuk.
Usaha ini sudah ia tekuni jauh sebelum Kampung Ketupat diresmikan sebagai destinasi wisata pada 2017.
Sejak kawasan itu ramai dikunjungi wisatawan, Laila juga mendapat manfaat tambahan. Banyak mahasiswa dan pelajar datang untuk belajar langsung proses pembuatan ketupat, sekaligus menambah pesanan khusus.
Meski pandemi sempat menekan penjualan, Laila tidak pernah berpikir untuk berhenti. Tantangan lain justru muncul dari minimnya minat generasi muda melanjutkan tradisi ini.
“Tidak semua anak muda mau belajar. Tapi kami tetap berusaha mempertahankannya, karena ini bagian dari kearifan lokal,” tegasnya.
Kini, di tengah arus modernisasi, anyaman janur yang dikerjakan tangan-tangan seperti Laila menjadi bukti nyata bahwa tradisi masih bisa bertahan, sekaligus memberi nafkah bagi banyak keluarga.