metroikn, Tanah Grogot – Politisi muda Kabupaten Paser, Zulfikar Yuliskatin menilai, perlunya generasi muda sekarang ini untuk melek politik.
Secara garis besar, kata Zulfikar, politik memiliki cakupan yang luas terhadap kehidupan, baik lingkungan sosial mau personal. Potensi Generasi muda, utamanya kelompok Gen-Z untuk bersentuhan dengan segala hal berkaitan dengan politik, menurutnya, sebuah keniscayaan.
“Karena di keseharian kita tak lepas dari adanya proses politik,” ujar Zulfikar usai menjadi pembicara utama acara talk show ‘Anak Muda Melek Politik’, Jum’at (20/10/2023) lalu.
Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menjadi agenda nasional yang secara nyata akan menjadi momentum bagi Gen-Z untuk terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan perpolitikan.
Momentum ini sekaligus menjadi kesempatan bagi kelompok Gen-Z untuk memahami dan sadar akan politik.
Namun demikian, Zulfikar menggarisbawahi, bahwa poltik tidak serta merta hanya berkaitan dengan partai politik (parpol). Maka dari itu, generasi muda perlu jeli dalam memahami politik.
Perspektif bahwa politik sebagai sesuatu hal negatif, menurutnya, perlu diubah dari sekarang.
“Karena para pemangku kebijakan kita tak serta merta hanya memperjuangkan kepentingannya sendiri, tetapi bicara juga untuk kesejahteraan masyarakat yang diperjuangkan melalui politik,” terangnya.
Sementara itu, Akademisi Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur (UMKT) Furaudi Safitiri mengakui bahwa umumnya anak muda sekarang ini masih terlalu apatis terhadap politik. Padahal, menurut survey, lebih dari separuh populasi penduduk Indonesia didominasi kelompok generasi milenial dan gen-z. Kemudian, 56 persen pemilih hak suara dalam pemilu di Indonesia adalah kelompok tersebut.
“Sayang sekali dari hail survey juga mengatakan bahwa generasi z peserta yang kurang berpartisipasi di politik,” sambung Furaudi Safitri.
Ia membeber beberapa indikasi yang menyebakan kurangnya partisipasi kalangan muda dalam politik, Mulai dari ciri-cirinya yang mandiri, terbuka secara pemikiran, lihai terhadap memanfaatkan teknologi atau smartphone yang menyebabkan over konsumsi informasi.
“Hal itulah yang mungkin menjadikan mereka malas terlibat didalam politik itu sendiri,” ungkapnya.
Mengamati kondisi ini, Furaudi sepakat agar cara pandang terhadap politik memang perlu diubah. Terlebih untuk menghadapi bonus demografi.
“Kalau tidak punya skill (keterampilan), kebijakan tidak diciptakan oleh pemangku kebijakan oleh politisi, maka siap-siap jadi pengangguran. Oleh karenanya generasi z harus berkontribusi terhadap jalannya perpolitikan,” demikian dia.