Penulis: Roy MS
Lebih kurang dua bulan sudah 450 prajurit Batalyon Infanteri (Yonif) Raider 600/Modang VI Mulawarman yang tergabung dalam Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan (Satgas Pamtas) Mobile RI-Papua Nugini kembali ke home base-nya di Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim).
Sekitar 14 bulan lamanya bertugas di bumi cendrawasih, batalyon ‘kobra’ yang dipimpin Letkol Infanteri Karuniawan Hanif Arridho itu, berhasil pulang dalam keadaan sehat dan lengkap. Hal yang tentunya patut untuk disyukuri sekaligus diapresiasi.
Apalagi, penugasan yang diemban pasukan ‘pejalan kaki’ Angkatan Darat di Papua Selatan dan sebagian wilayah Papua Pegunungan kala itu, bukanlah remeh.
Secara geografis, luasan wilayah yang mesti mereka jaga meliputi Kabupaten Merauke, Mappi, Asmat dan Yahukimo. Konsentrasi pengamanan terbagi ke sembilan pos yang ada di wilayah-wilayah tersebut.
Tantangannya lagi, hampir semua kontur tanah antar kabupaten beralaskan rawa, kalau tidak berselimutkan hutan yang rapat. Dengan begitu, wilayah-wilayah yang meliputi area tugas satgas ini lebih mudah untuk diakses melalui jalur sungai atau udara.
Sedangkan daerah-daerah tersebut sebelumnya dikenal sebagai sasaran gangguan kelompok separatis teroris bersenjata (KSTB). Atau sering pula menjadi jalur perlintasan kelompok tersebut untuk melancarkan aksi.
Bahkan, di salah satu distrik, sempat bak menjadi kota mati. Distrik atau kampung itu adalah Suru-suru di wilayah Kabupaten Yahukimo.
Sekitar tahun 2021 lalu, KSTB menyerang titik penjagaan TNI di Suru-suru. Rumah-rumah warga setempat tak luput dari aksi kelompok separatis. Sehingga, Suru-suru ditinggalkan penghuninya dalam waktu lama.
Situasi yang sewaktu-waktu bisa saja terulang di wilayah sekitarnya. Dan tentunya menjadi catatan penting bagi Satgas Pamtas yang baru akan memulai tugasnya sekitar Mei 2022.
Di sisi lain, kondisi sosial-budaya masyarakat setempat turut menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh para prajurit Modang. Aksi kelompok separatis yang sekian tahun bergejolak di wilayah tersebut, diakui memberi dampak yang kompleks pada perkembangan daerah, bahkan sendi-sendi kehidupan masyarakatnya.

Ini lah yang menurut Hanif, merupakan tantangan tugas sebenarnya. Bagaimana keberadaan prajurit Modang bukan sekadar menjaga keamanan dari gangguan kelompok tadi, tapi juga harus mampu menyatu dengan masyarakat yang mereka lindungi.
“Ada misi kemanusian juga di situ,” kata Hanif mengawali obrolan bersama metroikn di Mako Yonif 600/Modang belum lama ini.
Membantu masyarakat setempat dalam membangun faktor-faktor kesejahterannya menjadi salah satu misi penting prajurit Modang di wilayah tersebut, menurut Hanif.
Hal ini diaktualisasikan dengan upaya pembinaan masyarakat melalui kegiatan-kegiatan di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Tidak jarang personel satgas harus juga berperan sebagai pengajar anak-anak usia sekolah dasar di sekitar pos penjagaannya. Kegiatan belajar mengajar ala kadarnya sering berlangsung di pos penjagaan sembari para prajurit melaksanakan tugas sebagai tentara nasional.
“Anak-anak itu yang mendatangi anggota di pos. Beberapa daerah di sana memang minim guru, sekolah juga letaknya jauh dari kampung mereka,” sebutnya.
Di awal-awal masa penugasan, kisahnya, sebagian besar warga masih khawatir untuk keluar dari kampungnya. Terkecuali orang-orang dewasa. Itu pun sebatas pergi berburu atau meramban pokok untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pada lain kesempatan, satgas turut membantu penyediaan air bersih. Alat penyuling air yang dibawa pasukan ke area penugasan akhirnya bermanfaat besar bagi masyarakat.
Infrastruktur pengolah kebutuhan dasar di wilayah paling timur Indonesia tersebut memang belum cukup memadai. Keterbatasan menjadi penyebab masalah kesehatan masyarakat. Malaria salah satunya.

Donor darah, pemeriksaan kesehatan gratis untuk masyarakat menjadi agenda rutin yang digelar Satgas Pamtas semasa bertugas.
“Pasukan juga dilengkapi tenaga kesehatan, untungnya logistik, obat-obatan yang disuplai terbilang cukup. Meski harus berbagi dengan personel, tapi sangat membantu masyarakat di sana,” kenang Hanif.
Personel satgas juga memberikan wawasan mengenai bercocok tanam. Kegiatan ekonomi yang sebenarnya terbilang awam bagi warga setempat.
Untuk diketahui, rata-rata penduduk setempat selama ini bergantung dari hasil berburu, kalau tidak menangkap ikan di sungai. Biasanya juga mereka memetik hasil hutan.
Lagi-lagi, ini bukan tugas enteng. Perlu ketekunan yang cukup panjang bagi anggota satgas agar bisa membangun pemahaman masyarakat.
“Pertama-tama di sana, ada warga yang kami kasih padi, maksudnya biar jadi benih untuk ditanam. Tapi malah dimasak buat makan. Jelas ini kultur yang tidak biasa bagi mereka, sehingga tidak bisa langsung diterima,” tutur Letda Dadik, perwira intelijen Yonif 600 Modang yang tergabung dalam Satgas Pamtas.
Adaptasi, pendekatan dan membangun kepercayaan merupakan jalan menuju suksesnya langkah-langkah pembinaan masyarakat yang dilakukan prajurit Modang selama bertugas di provinsi termuda itu.
Akan tetapi, menciptakan rasa persaudaraan antara prajurit dengan masyarakat, kata Hanif, menjadi kunci yang membuka peluang tersebut. Bagaimana menyatu sebagai saudara satu bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Sejak berangkat, kami punya prinsip yang kemudian dijadikan semboyan satgas yaitu, kami saudaramu dari Kalimantan. Artinya, kami datang sebagai saudara, memperlakukan mereka seperti saudara sendiri, bahwa kita sama-sama Indonesia,” sambung Hanif.
Sekitar seratusan warga melepas kepulangan pasukan Modang dengan isak tangis di Merauke. Sebuah gambaran betapa kuat hubungan emosional antara prajurit Modang dengan masyarakat.
Inilah wujud persaudaraan ideal antara TNI dengan rakyatnya. Saudara sesama bangsa Indonesia yang sekaligus menjadi kekuatan pertahanan negara.
Satu lagi, Hanif menunjukan bukti bahwa ke-Indonesia-an merupakan kekuatan besar negara ini.
Masyarakat Papua Selatan dan sebagian wilayah Papua Pegunungan yang diketahui terdiri dari beragam suku, rupanya memiliki bahasa ibu yang secara spesifik berbeda.

Komunikasi menjadi satu di antara hal krusial di tengah segala keterbatasan daerah tersebut. Bagaimana kesimpang siuran informasi di tengah masyarakat yang demikian beragam dapat teratasi adalah berkat kesatuan bahasa.
“Ini benar-benar terjadi di sana, bahasa Indonesia mempersatukan suku-suku yang berbeda bahasa. Ini bukti bahwa mereka Indonesia,” demikian dia.
Dari pengalaman Yonif 600 Modang membuktikan bahwa ke-Indonesia-an sebagai kekuatan bangsa, termasuk masyarakat Papua. Ini penting agar terus terjaga. (/*)