Menata Mimpi dari Kopi Keliling, Ini Kisah Perjuangan Ridho asal Banjarmasin di Kota Samarinda

metroikn, SAMARINDA – Di balik hiruk-pikuk acara besar di Samarinda, seorang pemuda berusia 23 tahun tampak sibuk mengaduk kopi panas di atas rombong kecilnya.

Namanya Ridho, perantau asal Banjarmasin, yang menggantungkan hidup dari berjualan kopi keliling di sekitar Masjid Islamic Center.

Delapan bulan terakhir, langkah kakinya tak pernah jauh dari rombong kayu sederhana itu. Dari situlah ia menyambung hidup, sekaligus menata mimpi untuk berdiri di atas usahanya sendiri.

Bagi Ridho, momentum keramaian adalah berkah. Saat ada konser musik, pawai, atau aksi demonstrasi, ia bisa menjual lebih dari 200 cup kopi. Angka itu berarti omzet hingga Rp5 juta dalam sehari.

“Kalau ada acara, dagangan bisa habis sebelum sore. Kalau hari biasa, baru habis menjelang malam,” tuturnya.

Namun, di luar euforia acara besar, keseharian Ridho tetap penuh tantangan. Hujan deras bisa menekan penjualan, sementara penertiban dari Satpol PP kadang membuatnya harus berpindah-pindah.

Meski begitu, ia tetap memilih bertahan di lokasi sekarang karena dianggap paling ramai.

Ridho percaya, rasa kopi dan cara ia melayani pelanggan adalah modal utama. Di tengah persaingan dengan banyak penjual serupa, ia tidak gentar. Justru semakin banyak penjual, suasana makin hidup, dan pelanggan pun lebih ramai.

“Dulu awal-awal jualan, 80 cup saja sudah syukur. Sekarang di hari biasa bisa 120 cup,” katanya.

Saat ini Ridho masih bekerja dengan sistem gaji bulanan. Ia digaji Rp2 juta, lalu mendapat bonus harian dan bulanan. Dari situ, penghasilannya bisa mencapai Rp3,8 juta saat sepi, dan lebih tinggi ketika ramai angka yang melampaui Upah Minimum Provinsi (UMP).

Meski cukup untuk biaya hidup, ia tetap bermimpi bisa memiliki rombong sendiri suatu hari nanti.

“Pengennya punya rombong sendiri. Masih belajar, masih berusaha, insyaAllah jalannya ada,” ucapnya.

Bagi sebagian orang, rombong kopi mungkin hanya sekadar gerobak kayu kecil di pinggir jalan. Tapi bagi Ridho, rombong itu adalah masa depan.

Dari sanalah ia berharap bisa lebih mandiri, berkembang, dan perlahan mewujudkan mimpi yang selama ini ia simpan.