Tradisi di Atas Matras, Kisah Panjang Gulat Samarinda

metroikn, SAMARINDA – Di sebuah matras sederhana di sudut Samarinda, anak-anak kecil tampak berlarian lalu saling berpegangan. Ada yang baru berusia enam tahun, bahkan ada pula yang baru tiga tahun.

Mereka tertawa, jatuh, lalu bangkit lagi. Di balik keceriaan itu, tersimpan tradisi panjang gulat, olahraga yang sudah menjadi bagian dari denyut nadi Kota Tepian selama lebih dari setengah abad.

Kisahnya bermula dari almarhum Saleh Basire, sosok yang membawa gulat dari Balikpapan ke Samarinda pada era 1970-an. Dari tangan dialah, benih gulat tumbuh dan diwariskan lintas generasi.

“Pak Saleh itu generasi pertama, saya termasuk generasi ketiga. Sekarang sudah ada generasi kelima sampai ketujuh. Gulat Samarinda ini tumbuh karena diwariskan dari senior ke junior, bahkan dari keluarga ke keluarga,” kenang Buyamin, salah satu pelatih gulat Samarinda, Rabu (27/8/25).

Di Samarinda, gulat bukan sekadar olahraga. Ia adalah warisan keluarga. Banyak anak yang mengenal matras sejak kecil karena ayah, kakek, atau pamannya juga seorang pegulat.

“Cucu saya umur enam tahun sudah main gulat, bahkan yang umur tiga tahun pun sudah ikut main-main di matras. Karena orang tuanya atau kakeknya membawa, otomatis mereka suka,” ujar Buyamin.

Tradisi inilah yang membuat regenerasi tidak pernah terputus. Dari rumah ke rumah, dari keluarga ke keluarga, gulat tetap hidup.

Samarinda kini dikenal sebagai pusat gulat di Kalimantan Timur. Ratusan atlet tercatat aktif berlatih, sebagian besar dari mereka mendapat dukungan lembaga pendidikan olahraga seperti SKOI (Sekolah Khusus Olahraga Indonesia) dan PPLPD (Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar Daerah).

“Dominannya memang anak-anak Samarinda. SKOI dan PPLPD ikut menyuplai banyak atlet. Bahkan, Samarinda bisa mengirimkan pegulat ke daerah lain kalau ada kejuaraan,” kata Buyamin.

Namun, tidak semua cerita berjalan mulus. Atlet yang bukan berasal dari keluarga pegulat sering kali menghadapi jalan terjal. Banyak lulusan SKOI yang akhirnya berhenti karena tidak ada wadah lanjutan.

“Kalau bukan keturunan, sulit memanagenya. Banyak yang berhenti setelah lulus karena tidak ada lembaga lanjutan. Ada juga yang pindah ke cabang lain seperti sambo, kurash, atau kabaddi. Tapi buat saya tidak masalah, yang penting mereka berprestasi,” jelas Buyamin.

Meski menghadapi tantangan, gulat Samarinda tak pernah kehilangan tajinya. Sejumlah atlet sukses menembus Pelatnas, bahkan empat dari lima atlet yang kini berlatih di Korea berasal dari Samarinda.

“Kalau soal prestasi, sudah tidak perlu diragukan lagi. Banyak pegulat Samarinda yang bahkan menyumbang medali emas di cabang bela diri lain di PON, karena dasar teknik dan fisik gulat memang sangat lengkap,” tutur Buyamin.

Pemerintah daerah turut memberi sokongan. Dari penyediaan fasilitas, pembinaan lewat SKOI dan PPLPD, hingga event resmi seperti Piala Gubernur. Semua itu menjadi bahan bakar agar tradisi gulat tidak padam.

“Pemerintah selalu mendukung, baik lewat akademi, SKOI, maupun event resmi. Itu sebabnya gulat di Samarinda tetap hidup sampai sekarang,” ucap Buyamin.

Namun, Buyamin masih menyimpan satu harapan besar adanya wadah lanjutan bagi atlet muda agar regenerasi tidak berhenti di level sekolah.

“Kalau ada jenjang pembinaan berikutnya, regenerasi makin kuat. Sejauh ini, Samarinda tetap jadi barometer gulat Kaltim,” pungkas Buyamin.